Bagi banyak orang, memiliki rumah adalah sebuah impian. Rumah menjadi tempat bersama untuk menapaki kehidupan. Rumah melahirkan ketenangan dan kebahagiaan keluarga.
Rumah merupakan kebutuhan dasar hidup manusia. Kehidupan keluarga menjadi lebih harmonis tatkala ada rumah untuk bernaung bersama orang-orang tercinta.
Upaya memiliki rumah pun dilakukan dengan berbagai cara. Dimulai dengan membangun bisnis, penghasilan meningkat, lalu membeli rumah secara tunai. Ada pula yang membeli rumah dengan mencicil atau membangun secara bertahap sesuai kemampuan finansial.
Kenyataan yang ada, tidak semua keluarga mampu membeli rumah. Mereka terpaksa memilih kontrak rumah, sewa tanah, atau sewa kamar kos.
Kondisi paling buruk banyak dijumpai di sejumlah kota besar, dimana keluarga tinggal di kolong jembatan, tol, pinggir sungai, kuburan, lahan kosong yang penuh semak belukar. Tidak ada pilihan lain, selain bertahan hidup.
Tidak Punya Rumah
Keluarga yang tidak mampu membangun rumah disebabkan sejumlah faktor. Pertama, disebabkan kemampuan finansial yang rendah. Ketiadaan pekerjaan, gaji yang minim. Sulit untuk memenuhi kebutuhan pangan, biaya pendidikan, apalagi untuk membeli rumah.
Di kondisi lain, lantaran usaha mengalami kerugian, sementara hutang harus dibayar, maka rumah yang dimiliki harus dijual untuk melunasi hutang usaha.
Kedua, ketidakmampuan memiliki rumah tidak hanya karena faktor ekonomi. Bencana alam seperti banjir, gempa, tsunami, likuifaksi, dan erupsi menyebabkan banyak rumah lulu lantah. Rumah yang dibangun dengan usaha kerja keras, rata dengan tanah dalam sekejap.
Ketiga, gaya hidup yang tinggi menyebabkan seseorang hidup konsumtif. Sewa rumah mewah, ketimbang beli rumah sederhana padahal punya kemampuan finansial. Ketidakmampuan mengelola keuangan dapat menyebabkan seseorang tidak mampu membeli rumah.
Keempat, terlantar atau ditelantarkan oleh keluarga terdekat. Kondisi ini dialami para lansia yang tidak memiliki keturunan, sementara sebagian kerabat telah meninggal.
Seseorang yang merantau sejak usia muda hingga memasuki masa senja, tidak terhubung dengan keluarga terdekat. Saat kondisi sakit, menjelang kematian, tidak ada sanak keluarga yang mendampingi lansia.
Dalam kasus lain, anak menelantarkan orang tua yang telah lanjut usia. Padahal si anak memiliki rumah dan kemampuan finansial, tapi membiarkan orang tua hidup sebatang kara. Terlunta di jalan, hidup di gubuk dengan kondisi yang memprihatinkan.
Wujudkan Impian
Harapan keluarga miskin (dhuafa) memiliki rumah dapat menjadi kenyataan, jika semua pihak saling membantu. Dompet Sosial Madani (DSM) melalui program rumah harapan memfasilitasi pembangunan rumah bagi dhuafa di Bali dan sejumlah daerah yang mengalami bencana.
Rumah harapan bukan sekedar bangunan, tapi menjadi pijakan agar hati yang piluh menjadi bahagia, sehingga lansia dapat hidup dengan tenang di masa tua.
Keluarga yang ditimpa bencana dapat kembali hidup tenang di rumah yang baru. Para ayah akan fokus bekerja, ketika istri dan anak tinggal di rumah.
Program rumah harapan yang digagas DSM bermula dari gempa Lombok 2018. Gempa menyebabkan lebih dari sepuluh ribu rumah rusak.
Rumah harapan pada awalnya memfasilitasi penyitas bencana untuk dapat tempat tinggal yang lebih layak. Setidaknya rumah tersebut dapat bertahan sampai lima tahun.
Kini, program rumah harapan tidak hanya untuk bencana. Pembangunan rumah harapan diberikan kepada lansia dan para guru ngaji.
Skema pembangunan tidak harus dimulai dengan membeli tanah. Rumah harapan dapat dibangun di atas tanah wakaf, tanah yang dipinjamkan atau tanah yang disewakan.
Prinsipnya lansia dapat tinggal dengan nyaman menghabiskan sisa usia dengan beribadah. Guru ngaji dapat lebih fokus untuk mengajar Al-Qur’an.




