Loyalitas Amil

Loyalitas Amil

Muzaki loyal penting. Amil loyal jauh lebih penting.

Amil adalah aset utama lembaga zakat. Tanpa amil, aktivitas lembaga tidak berjalan. Muzaki tidak terkelola. Mustahik tidak terbantu.

Loyalitas amil adalah energi untuk menggerakan lembaga secara berkelanjutan. Loyal berarti setia. Setia pada lembaga. Dalam makna lebih luas, komitmen pada pekerjaan utama sebagai amil. Setia untuk memberdayakan umat. Di mana pun dan kapan pun.

Amil loyal piawai mengelola lembaga. Tangguh memberdayakan umat. Pemberdayaan perlu waktu cukup lama. Loyalitas amil diperlukan, agar misi utama lembaga bisa dikerjakan secara optimal. Harapan besar, bisa tuntas mengentaskan kemiskinan.

Loyal memerlukan proses intensif. Ada enam proses yang bisa dilakukan oleh lembaga untuk membentuk dan menjaga loyalitas amil:

Loyalitas Amil #1: Internalisasi Nilai

Nilai adalah landasan inti lembaga zakat. Pedoman dasar perilaku amil. Karakter amil mesti selaras dengan nilai utama lembaga.

Integritas biasanya menempati urutan pertama dalam nilai lembaga. Konsistensi amil dalam kejujuran. Tidak curang. Tegas untuk tidak korupsi. Kuat menjaga moral diri.

Nilai-nilai lain seperti profesionalitas, layanan prima, dispilin, kerja tim, antusias, dan pembelajar, semakin memperkuat eksistensi lembaga.

Nilai lembaga harus ditulis. Mudah dibaca dan diingat. Seluruh tim wajib memahami mengapa dan untuk apa nilai lembaga. Tim yang direkrut harus sesuai nilai lembaga. Seleksi perilaku amil sebelum seleksi kompetensi.

Amil diberi pemahaman nilai lembaga. Dilatih secara berkala agar punya gambaran dan mampu menerapkan nilai di lingkungan kerja lembaga.

Amil sosok manusia biasa. Ia berpeluang lupa dan khilaf. Monitoring perilaku amil secara berkala penting dilakukan. Lembaga memastikan amil on the track. Karakter amil mencerminkan komitmen pada nilai.

Loyalitas Amil #2: Pembelajaran Berkelanjutan

Kesempatan belajar bagi amil sangat penting untuk pertumbuhan lembaga. Kompetensi amil meningkat, produktifitas kerja akan meningkat.

Amil potensial. Punya passion dan bakat. Punya pengalaman kerja. Tetap perlu mendapatkan proses pembelajaran berkelanjutan. Apalagi bagi amil baru. Sangat perlu pembekalan.

Pembelajaran dilakukan secara terpadu dan berkala. Pembelajaran untuk penguatan karakter dan kompetensi. Aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik diperkuat melalui proses pembelajaran.

Proses pembelajaran bisa dilakukan secara internal dan eksternal. Lembaga merancang sendiri skema pelatihan. Mengundang pakar atau amil lembaga yang dianggap ahli. Amil juga bisa diikutkan di pelatihan yang diadakan oleh lembaga lain.

Pasca pelatihan, amil presentasi di depan amil lain. Agar amil semakin paham materi pelatihan. Amil diminta mengadaptasi hasil pelatihan dalam aktivitas kerja dan didampingi oleh amil yang lebih kompeten.

Jika cukup sumber daya atau punya akses beasiswa, amil diberi kesempatan untuk studi S1, S2, dan S3. Pendidikan formal memperkuat pondasi ilmu pengetahuan, sehingga amil punya tradisi berpikir ilmiah, kritis, berbasis data, dan logis.

Lembaga juga perlu memfasilitasi sertifikasi amil. Sertifikasi menjadi bukti amil punya kompetensi yang standar.

Banyak pilihan proses pembelajaran bagi amil. Terpenting proses tersebut harus efektif, sehingga dampak pembelajaran dapat dilihat melalui kinerja Lembaga.

Loyalitas Amil #3: Karir dan Tantangan

Kesempatan karir dan tantangan tugas dapat mengasah kemampuan amil. Amil yang telah mendapatkan pembelajaran perlu ruang praktek, agar kompetensi semakin berkembang.

Bukan sekedar praktek biasa, tapi deliberate practice. Istilah deliberate practice dimunculkan oleh Anders Ericsson, psikolog asal Swedia. Deliberate artinya disengaja. Dirancang untuk target tertinggi, yakni menjadi ahli atau ekspert.

Deliberate practice adalah upaya pelatihan yang keras, spesifik, berkelanjutan, hingga menjadi ekspert. Menurut Ericsson, sesuai hasil riset, jalan menuju ekpert membutuhkan waktu setidaknya 10.000 jam.

Ketika amil diberi tugas, jabatan, dan tantangan kerja, sesungguhnya itu tidak hanya untuk kepentingan lembaga, tapi juga untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi diri amil.

Loyalitas Amil #4: Fasilitas Kerja

Bagaimanapun amil membutuhkan fasilitas kerja yang cukup untuk keberlangsung hidup. Membeli kebutuhan hidup dasar, seperti sandang, pangan, dan papan. Apalagi jika amil telah berkeluarga, kebutuhan semakin bertambah, di antaranya biaya pendidikan.

Gaji, jaminan kesehatan, jaminan ketenagakerjaan, apresiasi, penghargaan, dan fasilitas penunjang lain diberikan secara proporsional. Sesuai kemampuan lembaga, tanggung jawab jabatan, lama dedikasi, tingkat pendidikan, dan produktifitas amil.

Fasilitas kerja tidak menjamin sepenuhnya amil mampu bekerja secara produktif. Namun setidaknya fasilitas kerja akan memberikan keamanan dan kenyamanan, sehingga amil dapat bekerja lebih fokus.

Loyalitas Amil #5: Kejelasan Regulasi

Regulasi merupakan seperangkat kebijakan, aturan, sistem, dan aneka prosedur yang diterapkan oleh lembaga di lingkungan kerja amil.

Regulasi harus jelas artinya ada dokumen tertulis dan mudah dipahami oleh seluruh amil. Regulasi perlu disosialisasikan, sehingga amil bekerja secara tepat. Amil juga perlu proaktif memahami atau bertanya perihal regulasi lembaga.

Regulasi disusun agar misi lembaga dapat dilakukan secara efektif dan visi bisa dicapai. Penetapan regulasi tidak selalu top down. Hanya disusun oleh pemangku kebijakan Lembaga. Regulasi akan semakin tepat, jika disesuaikan tantangan ke depan, kondisi lapangan, dan aspirasi terbaik dari tim.

Loyalitas Amil #6: Kepemimpinan dan Komunikasi

Kepemimpinan menjadi salah satu faktor pendorong amil loyal pada lembaga. Kepemimpinan yang tepat akan menjaga loyalitas amil.

Terkadang amil kompeten menemukan jalan buntu, ketika ia berhadapan dengan pemimpin yang tidak akomodatif. Produktifitas amil terhambat kerena ulah pimpinan yang tidak bijak dan tidak kompeten.

Pemimpin semestinya mampu menerapkan kombinasi pola kepemimpinan. Kepemimpinan perlu adaptif. Terutama saat merespon situasi lembaga. Ada kalanya pemimpin bersikap demokratif, di lain situasi perlu otoriter, terutama menyangkut keselamatan lembaga.

Pemimpin mampu mempengaruhi dan menggerakan tim sesuai visi dan misi lembaga. Pemimpin mampu mendengar dan menerima masukan brilian dari amil. Pemimpin juga tegas memaksa amil melalui perintah, agar pekerjaan dapat diselesaikan tepat waktu.

Kepemimpinan yang sesuai dengan situasi lembaga. Melihat tim tidak dapat diubah, meski telah melalui berbagai upaya pembinaan, maka keputusan untuk mengeluarkan harus diambil. Sebaliknya, ada tim yang kompeten dan produktif, maka harus diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berkembang.

Komunikasi pemimpin menjadi kunci keberhasilan lembaga. Pemimpin perlu mengkomunikasi secara lugas terkait kebijakan, harapan, perubahan, dan visi. Merancang program dan layanan baru perlu komunikasi. Diskusi dengan tim. Ngopi bareng.

Terbuka pada tim terkait kondisi lembaga. Mengajak tim amil, bersama untuk membenahi lembaga. Membimbing mereka untuk berani mengemban posisi lebih tinggi. Mengambil resiko lebih besar dan terukur.

Bagaimana jika proses diatas telah dilakukan secara optimal dan amil tetap resign dari lembaga?

Amil punya keputusan atas rencana hidup dan masa depan yang dituju. Tugas kita memastikan bahwa ia keluar tanpa meninggalkan masalah. Keluar bukan karena ada persoalan di dalam lembaga yang belum selesai.

Pastikan amil keluar, karena ia punya visi lebih besar, mendapat kesempatan lebih luas untuk berkembang, dan punya kesiapan ilmu dan keterampilan memadai untuk berlomba dalam kebajikan.

Amil bukan hanya milik lembaga. Amil milik keluarga dan umat. Amil tetap loyal pada peran utama, meski di lain wadah.

Biarkan ia mengepakkan sayapnya lebih lebar di cakrawala peradaban. Selama ia masih menggenggam misi ke-amil-an, maka kebermanfaatan terus mengalir bagi umat. Amal jariyah bagi pempimpin lembaga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *