Kecil-kecil bikin Merana

Makhluk kecil bernama corona terus bergerak. Menyebar ke berbagai negara. Di Amerika 8000 jiwa meninggal karena COVID-19. Virus yang pertama kali menyebar di Wuhan ini telah menyebabkan 198 jiwa meninggal di Indonesia. Berdasarkan perkiraan ahli epidemologi, puncak pandemic corona terjadi pada pekan kedua atau ketiga bulan April 2020.

Dampak Corona telah menjalar di berbagi bidang. Kesehatan terganggu. Ancaman kematian. Puluhan tenaga medis gugur. Aktivitas ekonomi melambat. Pendapatan menurun, bahkan terjadi PHK. Kegiatan belajar mengajar terhenti. Anak-anak belajar di rumah. Orang tua berjibaku mengurus kebutuhan hidup dan aktivitas belajar anak. Semua aktivitas terganggu, bahkan terhenti.

Di antara mereka yang paling menderita karena corona adalah masyarakat kecil. 70,49 juta orang bekerja di sektor informal. Buruh kasar harian. Pedagang asongan. Kerja sehari untuk kebutuhan hidup hari itu juga. Jika masih lebih, masih beruntung cukup untuk esok hari.

Di saat normal saja, pekerja informal kesulitan mencukupi kebutuhan sehari-hari. Makan makanan bergizi dan sehat, belum tentu bisa disantap setiap hari. Tidak punya jaminan kesehatan memadai. Tidak terlalu paham pola hidup bersih dan sehat.

Tatkala ada himbauan tidak keluar rumah. Mereka tetap bekerja ke luar rumah. Memeras keringat, membanting tulang. Jika tidak bekerja, asap dapur tidak mengepul. Kelaparan bisa jadi bencana tambahan selain corona.

Masyarakat kecil tidak punya banyak pilihan selain mengambil resiko untuk terus bekerja di luar rumah. Tabungan minim, investasi tidak ada. Kota sebagai tumpuan harapan untuk merubah nasib. Kini mulai tidak berpihak pada masyarakat kecil.

Di perkotaan, aktivitas ekonomi masyarakat kecil terkena imbas corona. Pedagang kecil kesulitan mencari pembeli. Modal pun terpaksa dipakai untuk bertahan hidup. Hutang makin membengkak. Sebagian memilih kembali ke kampung halaman. Meski sangat beresiko terjadi penularan.

Masyarakat kecil tidak bisa berharap banyak pada pemerintah. Meski bantuan tunai dan non tunai diberikan. Masih belum mencukupi untuk kebutuhan hidup layak. Uluran tangan kebaikan harus dimasifkan. Berbagi kebaikan. Memberi bantuan bahan pangan, setidaknya bisa mengurangi dampak corona. Agar masyarakat kecil tidak semakin merana.

Kita tidak bisa membantu seluruh masyarakat miskin. Tapi setiap dari kita, yang diberikan kelebihan rizki, dapat berbagi untuk orang lain. Bersama peduli sesama. Bersama lawan Corona.

 

 

 

 

 

 

 

 

Gaya Hidup Mustahik

Hidup itu murah, yang mahal itu gaya hidup. Hidup banyak tekanan, pertanda kebanyakan gaya. Adagium ini sering kita jumpai di beranda sosial media. Mengingatkan bagi kita semua, bahwa biaya hidup itu sebetulnya murah. Lantaran pertimbangan gengsi, akhirnya memilih merek dengan harga lebih tinggi. Padahal fungsi dan kegunaan sama. Sementara uang di kantong terbatas.

Persoalan gaya hidup tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat menengah ke atas. Pada lapisan masyarakat bawah pun masih sering kita jumpai. Masyarakat kategori mustahik, individu yang berhak menerima zakat. Terutama golongan fakir dan miskin. Akibat gaya hidup, penghasilan mereka jadi minus. Hutang makin menumpuk.

Gaya hidup mendorong mustahik membeli barang tidak sesuai dengan kebutuhan dasar. Handphone sebagai alat komunikasi, untuk bekerja dan berdagang. Akibat dorongan gaya hidup, akhirnya membeli baru, dengan merek tertentu, harga melebihi kemampuan keuangan. Akhirnya memilih kredit. Tidak jarang, anak mustahik difasilitasi gawai, sekedar untuk hiburan game online.

Motor, kendaraan roda dua, kebutuhan primer bagi mustahik untuk bekerja. Armada untuk mencari nafkah lewat ojek online. Akibat godaan gaya hidup, memilih motor keluaran terbaru. Harga lebih dari 25 juta. Tidak sanggup membeli secara tunai, akhirnya memilih berhutang. Pemasukan tak tentu, cicilan ‘memanggil’ setiap bulan. Ketika anak sakit, pengeluaran banyak, hutang jadi menumpuk.

Membeli sepatu, pakaian, dan makanan. Sepintas ini bagian dari kebutuhan. Ketika membeli di luar kemampuan keuangan. Melebihi setengah dari penghasilan, maka inilah jebakan gaya hidup. Gaya hidup seringkali mendorong seseorang berbelanja secara boros. Aji mumpung. Mumpung diskon. Semua ingin dibeli, ketika sudah dibeli, tidak kunjung dipakai.

Gaya hidup menjadi momok bagi keluarga miskin. Makin tinggi gaya hidup, mustahik makin miskin. Membantu mustahik tidak cukup hanya memberi uang. Memfasilitasi kebutuhan mereka. Lebih penting mengubah gaya hidup mustahik. Pengentasan kemiskinan dimulai dengan mengubah pola pengeluaran mustahik. Mengajari mustahik mengendalikan kebocoran keuangan.

Membantu mustahik, sekaligus mengajari mereka menyederhanakan hidup. Mencegah membeli barang-barang yang tidak diperlukan. Mendorong mustahik berhenti merokok. Membiasakan mereka lebih produktif. Memanfaatkan pekarangan, untuk menanam tanaman konsumsi. Membeli aset-aset yang bisa meningkatkan pendapatan. Ketika gaya hidup bisa dikendalikan bahkan ditekan, maka kesempatan hidup sejahtera lebih terbuka lebar. Usaha semakin produktif.

sumber foto : bombastis

Warnai Hidupmu dengan Zakat

Kehidupan manusia bermula seperti selembar kertas putih. Seiring waktu, coretan aneka warna menghiasi. Kertas putih menjelma penuh warna. Ada warna kebaikan. Bercampur warna keburukan. Warna demi warna bercampur baur sampai akhir kehidupan.

Kehidupan menjadi indah manakala warna kebaikan lebih dominan. Satu warna kebaikan itu bernama zakat. Bagian dari rukun Islam. Wajib bagi muslim yang memiliki harta mencapai nishab. Zakat sering dilupakan ketika rizki sedang melimpah.

Zakat adalah perintah Islam. Mengeluarkan sebagian harta dalam waktu tertentu (haul atau ketika panen, dengan nilai tertentu (2,5%, 5%, 10%, atau 20%) dan sasaran tertentu (fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharimin, fisabilillah, dan ibnu sabil).

Ketika zakat ditunaikan, harta jadi bersih, pembayar zakat (muzakki) makin dekat dengan Allah. Bagi penerima zakat (mustahik), kebutuhan hidup bisa tercukupi, ibadah bisa lebih khusyu’. Amil sebagai pengelola zakat punya energi untuk melayani umat yang sedang kesulitan.

Zakat membuat hidup lebih berwarna. Warna yang membawa kebahagiaan. Bahagia ketika mustahik terbantu. Dengki bisa dikikis. Semangat hidup mustahik bertumbuh. Mampu mandiri, memenuhi kebutuhan hidup. Zakat membangun kebersamaan, mencegah perilaku kriminalitas.

Warnai hidupmu dengan zakat. Niscaya keberkahan semakin merekah. Seperti bunga ranum di taman surga. Hiduplah penuh warna kebaikan agar berkah terus mengalir sepanjang waktu.

Literasi Bencana: Solusi Memaksimalkan Keselamatan Jiwa

Malu bertanya sesat di jalan. Malas membaca gagap informasi. Tidak paham bencana, nyawa melayang. Sesat di jalan, gagap informasi, masih bisa diperbaiki. Nyawa melayang, akhir hayat seseorang.

Sekian nyawa anak melayang ketika gempa, disebabkan tidak tahu cara melindungi diri. Gempa terjadi langsung lari. Lompat dari ketinggian. Berharap selamat justru mendapat petaka. Kepanikan berujung kecerobohan. Kecerobohan bisa berakibat fatal.

Betul bahwa kematian akibat bencana itu takdir tuhan. Hampir semua jenis bencana terjadi di Indonesia. Sementara sistem peringatan dini masih perlu diperbaiki. Sukar rasanya untuk bisa selamat.

Soal kematian tuhan sudah atur. Tugas manusia adalah ikhtiar. Berusaha meminimalisir resiko dan dampak becana. Literasi bencana jadi solusi, agar korban bencana semakin minim.

Literasi bencana dimulai dengan membaca. Menyerap informasi potensi bencana. Terutama potensi bencana di sekitar tempat tinggal. Apakah dulu pernah terjadi bencana besar, yang bisa terjadi legi. Dari potensi bencana banjir, gempa, tsunami, sampai erupsi gunung.

Setelah tahu potensi bencana. Langkah selanjutnya adalah memahami gejala atau tanda-tanda bencana. Tiap bencana punya tanda-tanda berbeda.

Ketika kita merasakan ada gempa ketika di pantai, maka itu bisa jadi pertanda akan terjadi Tsunami. Tiba-tiba air laut surut secara cepat, itu juga jadi pertanda tsunami. Sebaiknya bergegas mencari tempat paling tinggi.

Pasca mengetahui tanda-tanda bencana alam, kita perlu memahami cara-cara yang dilakukan untuk penyelamatan diri. Saat gempa, posisi di dalam gedung bertingkat, kita cari tempat aman berlindung, di bawah meja, samping lemari, yang memungkinkan ada celah segitiga selamat. Triangle of Life.

Pengetahuan bencana akan lebih dipahami jika diperkuat lewat pendidikan atau pelatihan kebencanaan secara berkala. Harapannya kita semakin paham gejala dan cara menghadapi bencana secara tepat.

Giat literasi bencana secara intensif akan mendorong kita terbiasa menghadapi peristiwa bencana. Termasuk menanggulangi bahaya kepanikan akibat info hoax bencana.

Pengulangan membaca, pelatihan berkala akan membentuk karakter tangguh kita untuk lebih siap menghadapi bencana. Literasi bencana dapat kita akses melalui buku. Buku yang dicetak lembaga sosial atau Badan Nasional Penanggulang Bencana (BNPB).

Informasi digital dari website lembaga resmi pemerintah, media mainstream, dapat menjadi rujukan kaitannya dengan literasi bencana. Termasuk facebook dari lembaga terpercaya. Bahkan jurnal-jurnal ilmiah.

Literasi becana perlu disemarakkan di keluarga, kantor, tempat ibadah, lingkungan masyarakat dengan berbagai kemasan acara kreatif. Seperti pemasangan poster dan tanda bencana. Kajian dan diskusi seputar kebencanaan di lingkungan kerja.

Literasi becana dapat dimasukkan di kurikulum pendidikan, agar anak-anak terlatih sejak dini menghadapi bencana di lingkungan sekolah. Literasi bencana jadi referensi dalam proyek pembangunan sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu bencana terjadi. Harapan bersama, literasi bencana jadi solusi untuk memaksimalkan keselamatan jiwa. Ketika bencana tiba masyarakat sudah paham dan sigap menghadapi secara benar.

Sumber foto: voaindonesia

Donatur Cilik: Karakter dan Aset Masa Depan

Bahan baku peradaban itu bernama anak. Benih generasi akan datang. Ia terus tumbuh menuju dewasa. Dalam undang-undang Nomor 35 Tahun 2014, masa anak-anak dimulai sejak kandungan sampai usia 18 tahun.

Kelak, anak akan memikul beban tanggung jawab besar sebagai pemimpin. Penerus untuk membangun Indonesia. Bahkan menjadi pemimpin dunia. Anak yang kita bina hari ini, akan menorehkan karya besarnya. Maka, bekal terbaik perlu dipersiapkan sejak dini.

Anak punya masa emas atau golden age. Usia 0 sampai 5 tahun. Di masa ini perkembangan otak sangat pesat. Perkembangan daya serap informasi otak anak demikian cepat. Tingkah laku orang di sekitar akan direkam dan berpotensi ditiru oleh anak di kemudian hari.

Fase emas anak merupakan kesempatan terbaik untuk menanamkan karakter mulia. Sifat-sifat kebajikan. Watak untuk membentuk jati diri. Bahkan dalam Islam karakter anak mulai terbentuk sejak seseorang memilih pasangan. Pasangan yang baik akan melahirkan anak dengan karakter baik.

Karakter dapat ditanamkan dengan memberi peran anak sebagai donatur cilik. Dalam dunia filantropi, donatur adalah sosok dermawan. Suka memberi. Senang berbagi kepada orang lain.

Berbagi itu cermin anak soleh. Keimanan makin kuat lewat aktivitas kepedulian. Iman makin tangguh, karena amal baik. Amal mulia lewat memberi, dari senyuman sampai harta benda berharga.

Peran donatur cilik dapat menumbuhkan rasa empati anak. Peka pada lingkungan sosial. Hatinya menjadi lebih bersih dan lembut. Terdorong untuk membantu teman yang hidupnya kesulitan. Berbagi uang, makanan, baju, atau mainan.

Anak yang terbiasa peduli pada orang lain akan lebih ramah. Punya rasa sayang. Sayang pada orang tua, guru, dan teman. Kebaikan dan pembelajaran akan lebih mudah diserap oleh anak.

Sifat kikir pada anak dapat dikikis lewat berbagi. Anak tidak terjebak pada sikap materialistik akut. Anak sadar ada hak orang lain dari sesuatu yang ia miliki. Untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan.

Membiasakan mereka berkunjung ke panti asuhan. Blusukan ke daerah miskin. Bersedekah secara rutin lewat lembaga amil zakat seperti Dompet Sosial. Memasukan sejumlah uang di kotak infak masjid. Membantu penyitas bencana akan mendorang anak lebih bersyukur. Ia merasa hidupnya masih lebih baik dan beruntung.

Kebahagiaan anak semakin dirasakan orang tua, tatkala anak dibiasakan berbagi. Ikut program celengan atau kencleng di sekolah. Menyisihkan uang jajan atau pemberian orang tua untuk amal. Seperti yang dilakukan di sekolah Al-Banna, Mutiara School, dan Alam Jamur.

Lewat berbagi, anak semakin bijak ketika menghadapi masalah di lingkungan rumah atau sekolah. Dampak dari aktivitas berbagi, membuat anak lebih cerdas. Emosi tersalurkan, anak lebih mudah dibentuk menjadi pribadi terbaik dan mulia.

Bappenas memproyeksi jumlah anak-anak (0-14 tahun) mencapai 70,49 juta jiwa atau 26,6% dari total populasi di tahun 2018. Angka kelahiran terus bertambah setiap tahun. Usia produktif (14-64) semakin meningkat. Tidak lama, anak-anak akan masuk fase usia produktif.

Angka yang besar, pertanda Indonesia mulai memasuki momen bonus demografi. Dimulai tahun 2020 hingga 2035. Sementara itu, total penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 318,9 juta jiwa di tahun 2045.

Sayang, jika potensi melimpah ini hanya jadi obyek komoditas semata. Anak makin konsumtif. Apalagi dominan menggunakan produk asing. Efeknya sumberdaya anak negeri berpindah tangan ke tangan asing. Menguntungkan perusahaan-perusahaan asing.

Anak mestinya jadi aset. Aset paling berharga yang perlu dipersiapkan. Aset penentu pertumbuhan bangsa di masa depan. Aset yang kelak memberi kontribusi terbaik bagi kemajuan Indonesia.

Ketika anak-anak Indonesia terbiasa jadi donatur cilik, maka pada masanya mereka akan jadi donatur besar untuk membangun bangsanya. Mengentaskan jerat kemiskinan. Membawa kesejahteraan bagi Indonesia.

Karakater donatur cilik memberi energi cinta untuk peduli pada bangsanya. Krisis, bencana, dan berbagai musibah menerpa akan siap ditopang oleh anak-anak Indonesia. Anak-anak lebih memilih produk makanan Indonesia. Anak-anak suka pakaian buatan dalam negeri. Anak-anak mencintai Indonesia setulus hati.

Sumber foto : Dompet Sosial

Kedermawanan di Negeri Rawan Bencana

Indonesia adalah negeri penuh pesona. Kaya panorama alam. Keindahan Indonesia sungguh menawan. Gunung, hutan, pantai, danau, ditambah iklim tropis yang nyaman membuat wisatawan berdatangan. Namun di balik keanggunan alam Indonesia menyimpan sejumlah potensi bencana. Setiap waktu bisa terjadi. Seperti tsunami, banjir, longsor, erupsi, gempa, dan kebakaran hutan.

Ujian demi ujian bencana menerpa Indonesia di tahun 2018. Dimulai pada bulan Januari terjadi gempa 6.1 Scala Richter (SR) di Kabupaten Lebak Banten. Sebanyak 2.760 rumah warga rusak. Satu bulan kemudian terjadi tanah longsor di Desa Pasir Panjang, Kecamatan Salim, Kabupaten Brebes. Petani Brebes menjadi korban, 15 orang hilang tertimbun tanah longsor.

Gempa melanda pulau seribu masjid di bulan Juli dan Agustus lalu. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) jumlah korban jiwa ada 564 orang. 1.584 korban mengalami luka-luka. Puluhan ribu rumah rusak, akibatnya banyak warga tinggal di tenda yang kurang layak. Ekonomi lumpuh, anak-anak tidak bisa pergi ke sekolah.

Kesedihan belum berlalu, tiba kabar duka dari Sulawesi Tengah. Gempa, tsunami, likuifaksi, longsor menerjang wilayah Palu, Sigi, dan Donggala. Korban meninggal mencapai 2.073 jiwa. Ribuan jiwa masih tertimbun akibat pencairan tanah. Bencana terbaru dialami saudara kita di Banten dilanda Tsunami. Lebih 200 jiwa meninggal dunia. Tsunami di Banten menurut BMKG kemungkinan disebabkan aktivitas vulkanik gunung Krakatau.

Di balik rentetan derita yang terjadi selalu ada orang-orang baik. Untuk membangkitkan asa, sebagai penawar kesedihan. Membantu secara tulus. Memberikan aneka bentuk bantuan. Dari tenaga, ide, makanan, uang sampai fasilitas seperti rumah, sekolah, dan bangunan sarana ibadah. Orang baik itu bernama dermawan.

Para dermawan tidak hanya berasal dari orang kaya. Sebagian berasal dari masyarakat kelas bawah, tapi punya tekad untuk berbagi. Tentunya ini menjadi kebanggan bersama, bahwa Indonesia adalah bangsa paling dermawan. Apalagi Charities Aid Foundation (CAF) menobatkan Indonesia sebagai negeri paling dermawan se dunia. Berdasarkan CAF World Giving Index 2018 kedermawanan meliputi membantu orang tidak dikenal yang memerlukan bantuan, berbagi amal, dan turut serta dalam giat kerelawanan.

Kedermawanan menandakan Indonesia sebagai bangsa mulia. Sesulit apapun masih banyak orang baik di negeri ini mengulurkan tangan untuk membantu sesama. Meski rawan bencana, Indonesia negeri berjuta dermawan. Kedermawanan ini menjadi kekuatan tangguh untuk menghadapi berbagai ujian bencana yang menerpa Indonesia.